*/?>

8 Pahlawan Nasional Indonesia dan Kontribusinya Untuk Negara

Pendidikan
Reporter : Bernetta, 17 Aug 2021
Sumber gambar : goodnewsfromindonesia
Sumber gambar : goodnewsfromindonesia

Sudah 76 tahun sejak kemerdekaan Indonesia, sudah selama itu pula kita terus diingatkan akan perjuangan mereka yang meliberasi kita dari penjajahan. Tanpa mereka, kita mungkin tak akan menjadi kita yang hari ini; yang bisa merasa aman dari tekanan bangsa lain dan merasa bebas merdeka.

Ya, perjuangan mereka, pahlawan nasional kita, harus selalu diangkat tiap kali, agar kita ingat cita-cita mereka untuk negara Indonesia yang lebih baik. Haruslah kita ingat agar selalu baru semangat untuk menjadi individu yang lebih baik, untuk diri sendiri maupun negara ini.

Maka dari itu, seperti kaset jadul yang bisa membawa ingatan ke masa lalu, kali ini, ayo mendekat sekali lagi ke masa lalu dan melihat perjuangan para Pahlawan Nasional Indonesia. Tak melulu soal Soekarno-Hatta, berikut 8 nama yang harus selalu baru diingatan:

Cut Nyak Dhien

Cut Nyak Dien

Cut Nyak Dhien atau Tjoet Nja' Dhien (1848 – 6 November 1908) adalah seorang pemimpin pasukan gerilya Aceh selama Perang Aceh. Setelah kematian suaminya Teuku Umar, ia memimpin aksi gerilya melawan Belanda selama 25 tahun. Ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia secara anumerta pada 2 Mei 1964 oleh pemerintah Indonesia.

Bersama suaminya Teuku Umar, Cut Nyak Dhien memimpin orang Aceh dalam perang suci melawan Belanda. Ia terlibat dalam perang gerilya yang penuh serangan dan taktik penyergapan. Sayangnya, Teuku Umar tewas dalam pertempuran ketika Belanda melancarkan serangan mendadak terhadapnya di Meulaboh. Namun, Cut Nyak Dhien tak berlarut-larut dalam kesedihan, "Sebagai perempuan Aceh, kami tidak boleh meneteskan air mata untuk mereka yang telah mati syahid." Setelah suaminya meninggal, Cut Nyak Dhien terus melawan Belanda dengan pasukan kecilnya sampai titik darah penghabisannya pada tahun 1901.

Sayuti Melik

Sayuti Melik

Mohamad Ibnu Sayuti, yang dikenal sebagai Sayuti Melik (22 November 1908 - 27 Februari 1989) adalah seorang juru ketik Indonesia. Ia membantu mengetik salinan proklamasi kemerdekaan yang diproklamasikan oleh Sukarno pada 17 Agustus 1945.

Sayuti Melik juga merupakan anggota dari kelompok 'Menteng 31', yang berperan dalam penculikan Sukarno dan Hatta pada 16 Agustus 1945. Para pejuang muda, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana, dengan Shodancho Singgih, anggota PETA (Pembela Tanah Air), dan seorang pemuda lainnya, membawa Sukarno bersama Fatmawati, Guntur, putra Sukarno yang berusia 9 bulan, dan Hatta, ke Rengasdengklok. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa Sukarno dan Hatta tidak dibujuk atau terpengaruh dengan cara apa pun oleh Jepang.

Dewi Sartika

Dewi Sartika

Dewi Sartika (4 Desember 1884 – 11 September 1947) adalah seorang advokat dan pelopor pendidikan perempuan di Indonesia. Ia mendirikan sekolah perempuan pertama di Hindia Belanda. Ia mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada tahun 1966.

Pada 16 Januari 1904, ia mendirikan sekolah bernama Sakola Istri di Pendopo Kabupaten Bandung yang kemudian dipindahkan ke Jalan Ciguriang dan nama sekolahnya diubah menjadi Sekolah Kaoetamaan Isteri pada tahun 1910. Pada tahun 1912, terdapat sembilan Sekolah Kaoetamaan Isteri di kota atau kabupaten di Jawa Barat (setengah dari kota dan kabupaten), dan pada tahun 1920 semua kota dan kabupaten memiliki satu sekolah. Pada bulan September 1929, sekolah ini berubah nama menjadi Sekolah Raden Dewi. Dia dianugerahi Ordo Oranye-Nassau pada ulang tahun ke-35 Sekolah Kaoetamaan Isteri sebagai penghargaan atas jasanya dalam pendidikan. Pada 1 Desember 1966, ia menerima gelar Pahlawan Wanita Gerakan Nasional.

Soedirman

Jendral Sudirman

Jenderal Angkatan Darat Raden Sudirman (24 Januari 1916 – 29 Januari 1950) adalah seorang perwira tinggi militer Indonesia pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Sebagai Panglima pertama Tentara Nasional Indonesia, ia terus dihormati secara luas di negara ini.

Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Soedirman memimpin sebuah break-out kemudian pergi ke Jakarta untuk menemui Presiden Sukarno. Bertugas mengawasi penyerahan tentara Jepang di Banyumas, ia membentuk divisi Badan Keselamatan Rakyat di sana. Pada tanggal 12 November 1945, dalam pemilihan untuk memutuskan Panglima TNI di Yogyakarta, Soedirman terpilih, mengalahkan Oerip Soemohardjo dalam pemungutan suara yang ketat. Soedirman adalah juga yang memerintahkan penyerangan terhadap pasukan Inggris dan Belanda di Ambarawa. Pertempuran dan penarikan Inggris memperkuat dukungan populer Soedirman sebagai pemimpin yang handal.

Martha Christina Tiahahu

martha christina tiahahu

Martha Christina Tiahahu (4 Januari 1800 – 2 Januari 1818) adalah seorang pejuang kemerdekaan Maluku dan Pahlawan Nasional Indonesia.

Mulai tahun 1817 Tiahahu bergabung dengan ayahnya dalam perang gerilya melawan pemerintah kolonial Belanda. Mereka juga mendukung tentara Pattimura. Dalam pertempuran lain, dia dan pasukannya berhasil membakar Benteng Duurstede hingga rata dengan tanah. Selama pertempuran, dia dikatakan melempar batu ke pasukan Belanda jika tentaranya kehabisan amunisi, sementara catatan lain mengatakan dia menggunakan tombak. Setelah Vermeulen Kringer mengambil alih militer Belanda di Maluku, Tiahahu, ayahnya, dan Pattimura ditangkap pada Oktober 1817. Dibawa ke Nusalaut, Tiahahu adalah satu-satunya prajurit yang ditangkap namun tidak dihukum; ini karena usianya yang masih muda. Setelah beberapa waktu ditahan di Fort Beverwijk, tempat ayahnya dieksekusi, pada akhir tahun 1817 Tiahahu dibebaskan. Dia terus berperang melawan Belanda setelahnya.

B.M Diah

B.M Diah

Burhanuddin Mohammad Diah (7 April 1917 - 10 Juni 1996) adalah seorang tokoh pers, pejuang kemerdekaan, diplomat, dan pengusaha Indonesia.

Pada April 1945, bersama istrinya Herawati, Diah mendirikan koran berbahasa Inggris, Indonesian Observer. Ia pernah bertolak pandangan dengan pihak militer setelah Peristiwa 17 Oktober, sehingga ia terpaksa berpindah-pindah tempat untuk menghindari kejaran petugas-petugas militer. Ketika pemerintah Orde Baru memutuskan untuk mengubah sebutan "Tionghoa" menjadi "Cina" dan "Republik Rakyat Tiongkok" menjadi "Republik Rakyat Cina", Harian "Merdeka" bersama Harian "Indonesia Raya"; dikenal sebagai satu-satunya pers yang gigih tetap mempertahankan istilah "Tionghoa" dan "Tiongkok".

R.A Kartini

R.A Kartini

Raden Adjeng Kartini (21 April 1879 – 17 September 1904), juga dikenal sebagai Raden Ayu Kartini, adalah seorang aktivis Indonesia terkemuka yang memperjuangkan hak-hak perempuan dan pendidikan perempuan.

Buku-buku, surat kabar, dan majalah-majalah Eropa menyuburkan minat Kartini terhadap Eropa dan pemikiran feminis dan secara keseluruhan menumbuhkan keinginannya untuk memperbaiki kondisi perempuan pribumi Indonesia, yang pada saat itu berstatus sosial sangat rendah. Bacaan Kartini termasuk surat kabar Semarang, di mana ia mulai mengirimkan kontribusinya sendiri yang diterbitkan. Sebelum berusia 20 tahun, dia telah membaca Max Havelaar. Ia juga membaca De Stille Kracht oleh Louis Couperus, karya-karya Frederik van Eeden, Augusta de Witt, penulis Romantis-Feminis Cecile Goekoop-de Jong van Beek en Donk, dan sebuah novel anti-perang oleh Berta von Suttner, semuanya berbahasa Belanda. Sepanjang hidupnya, Kartini tidak hanya peduli dengan emansipasi perempuan, tetapi juga dengan masalah keadilan sosial lainnya dalam masyarakatnya. Kartini melihat bahwa perjuangan perempuan untuk mendapatkan kebebasan, otonomi, dan kesetaraan hukum hanyalah bagian dari gerakan yang lebih luas.

Achmad Soebardjo

Ahmad Subarjo

Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo (23 Maret 1896 – 15 Desember 1978) adalah seorang diplomat, salah satu pendiri bangsa Indonesia, dan seorang pahlawan nasional Indonesia. Dia adalah Menteri Luar Negeri pertama Indonesia.

Pada tanggal 19 Agustus 1945, dua hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno mengangkat Soebardjo sebagai Menteri Luar Negeri Kabinet Presidensial, kabinet pertama Indonesia selama 4 bulan dan segera memulai kantor Kementerian Luar Negeri pertama di kediamannya sendiri, di Jalan Cikini raya. Soebardjo menjabat sebagai Menteri Luar Negeri sekali lagi dari tahun 1951 sampai 1952 di Kabinet Sukiman. Selain itu, ia juga menjadi Duta Besar Republik Indonesia untuk Swiss dari tahun 1957 hingga 1961.

Catatan: Pahlawan Nasional Indonesia sangat banyak jumlahnya. Delapan nama di atas hanya sebagian kecil dari banyak pejuang Indonesia melawan para penjajah.