*/?>

Kesenjangan Sosial dan Covid-19

Pendidikan
Reporter : Bernetta, 20 Aug 2021
Sumber gambar : University of Manchester
Sumber gambar : University of Manchester

Sudah setahun lebih kita hidup di tengah pandemi covid-19. Bagi sebagian orang, adanya pandemi ini tak berpengaruh apa-apa karena mereka memiliki cukup banyak kekayaan sehingga bisa bertahan hidup. Sebagian lainnya bahkan semakin kaya karena bekerja di sektor yang berhubungan langsung dengan dunia pengobatan dan kesehatan. Sedangkan sisanya? PHK massal, pemotongan gaji meskipun beban kerja tak berkurang, kesulitan mencari kerja karena lowongan kerja yang makin kompetitif dan kesulitan-kesulitan finansial lainnya melanda hidup mereka.

Potret masyarakat yang beragam di atas muncul karena kesenjangan sosial yang diperparah oleh pandemi covid-19.  Lalu apa sih kesenjangan sosial itu dan apa hubungannya dengan pandemi covid-19? Ayo bahas bersama!

Kesenjangan Sosial

social inequality

Kesenjangan sosial jika didefinisikan adalah suatu ketidakseimbangan sosial yang ada di masyarakat sehingga menjadikan suatu perbedaan yang sangat mencolok. Atau dapat juga diartikan suatu keadaan dimana orang kaya mempunyai kedudukan lebih tinggi dan lebih berkuasa dari pada orang miskin (Abad Badruzaman: 2009, 284). Kedudukan yang dimaksud tentu bertumpu pada moto, ‘ada uang, hidup tenang’.

(Intermezzo: Sebenarnya, tanpa covid-19 pun, kesenjangan sosial sudah nyata adanya. Misal, berdasarkan riset terbitan Oxfam dan International NGO Forum on Indonesia Development (lNFlD) pada 2017, jauh sebelum pandemi ini, berjudul "Menuju Indonesia yang Lebih Setara." menyimpulkan bahwa kekayaan kolektif empat orang terkaya di Indonesia, yang tercatat sebesar 25 miliar dolar AS, sama dengan gabungan harta 100 juta orang termiskin!) 

Nah, uang memang bukan penentu kebahagiaan seutuhnya namun dengan uang, kebutuhan hidup dasar seperti akses pada pendidikan, kesehatan dan kesempatan akan lebih terjamin. Kemudahan akses ini akan berdampak juga bagi masa depan orang-orang beruntung ini. Mari lihat realita hidup di bawah ini:

Anak yang terlahir di keluarga kaya akan otomatis mendapatkan kesempatan sekolah di sekolah yang berfasilitas lengkap dengan guru yang bersertifikasi tinggi. Belum lagi, ia bisa mengambil les privat setelah pulang sekolah lalu disuguhi makanan bergizi tiap hari. Ia akan bisa tidur tepat waktu bahkan mungkin bisa berolahraga di sela-sela waktu kosongnya karena ada kolam renang di rumahnya. Rutinitas ini berulang.

Lalu bandingkan dengan skenario ini:

Anak yang terlahir di keluarga berkekurangan hanya bisa bersekolah di sekolah umum yang jauh dari kota. Tak ada komputer sehingga meskipun ia diajarkan teori-teori tentang teknologi, ia tak dapat mempraktekkannya. Sepulang sekolah, ia harus langsung membantu ibunya berjualan keliling, pulang sore lalu makan nasi putih dengan mie instan sambil mengerjakan PR. Kemudian, ia masih harus menyiapkan dagangan untuk esok hari. Ia sering tidur larut malam. Rutinitas ini berulang.

Nah, bisa kah kamu menemukan betapa berbedanya kehidupan kedua anak di atas? Anak-anak dari keluarga lebih kaya tak hanya mendapatkan privilege pendidikan namun juga kesehatan karena makan-makanan yang lebih bergizi dan dapat beristirahat pada waktunya. Berbagai kesempatan pun bisa ia dapatkan, berbeda dengan anak-anak yang lahir dalam keluarga berkekurangan.

Mungkin kamu akan berpikir, ‘Hard work makes everything possible, untuk si miskin mengejar ketertinggalan’ namun dalam realitanya, garis awal yang berbeda antara si kaya dan si miskin tak bisa hanya diselesaikan dengan kerja keras. Apakah seorang ibu yang bekerja di pabrik 24 jam sehari bisa disebut tidak bekerja keras maka dari itu dia tetap tak beruang? Apakah seorang tukang becak yang tenaganya dibayar 10 ribu per penumpang, harus bekerja siang malam demi memberi makan keluarganya, tak bisa dikategorikan sebagai pekerja keras? Tentu tidak. Mereka adalah pekerja keras yang terjebak dalam kesenjangan sosial.

Lalu, mampukah mereka yang kurang beruntung sedari awal mendapatkan akses hidup setara dengan mereka yang kebutuhan kesehatannya terpenuhi, yang bisa masuk universitas luar negeri dan punya koneksi lebih besar dengan kelompok orang yang juga ‘lebih menguntungkan’? Bisa, hanya bagi mereka yang anomali; yang punya garis keberuntungan yang tak dimiliki manusia medioker lainnya.

Bagaimana sisanya? Di sinilah pemerintah masuk untuk berusaha mengurangi kesenjangan akses bagi mereka yang benar-benar tak memiliki akses penghidupan layak. Sebab kesenjangan tak terjadi karena kemalasan; ia adalah produk lebih besar yang muncul di luar kendali mereka yang paling membutuhkan bantuan.

Kesenjangan Sosial dan Pandemi Covid-19

Social Inequality

Nah, apa sih yang pandemi covid-19 ‘lakukan’ sampai dibisa dibilang memperparah kesenjangan sosial yang sudah ada?

Berdasarkan data dari Bank Dunia yang diluncurkan pada April 2020 di semua wilayah negara berkembang untuk memantau dampak covid-19 terhadap rumah tangga menunjukkan bahwa, rata-rata, lebih dari sepertiga dari mereka yang bekerja sebelum pandemi berhenti bekerja ketika lockdown diberlakukan. Lebih dari 60% rumah tangga kehilangan sebagian pendapatan mereka. Di negara-negara berkembang, kehilangan pekerjaan dan pendapatan dirasakan paling parah oleh pekerja rentan, perempuan, pemuda dan mereka yang kurang berpendidikan.

Setidaknya ada empat cara pandemi COVID-19 meningkatkan kesenjangan:

  • Pertama, pekerja dengan bayaran lebih tinggi bisa bekerja dari rumah sementara pekerja kerah biru dengan bayaran lebih rendah biasanya tidak memiliki opsi ini.
  • Kedua, para pekerja bergaji rendah lebih mungkin untuk melakukan kontak dengan orang yang terinfeksi. Misal, penjaga toko, penjual di pasar, dsb.
  • Ketiga, pekerja yang dibayar lebih rendah lebih terwakili di sektor-sektor yang telah menghentikan kegiatannya seperti hotel, restoran, dan jasa pariwisata.
  • Keempat, pandemi meningkatkan kemiskinan dan ketidaksetaraan antara negara-negara kaya yang mampu menyelamatkan perusahaan mereka dan menyediakan jaring pengaman sosial, dan negara-negara miskin yang tidak memiliki kapasitas untuk melakukannya.

Empat permasalahan di atas belum mewakili semuanya. Masih ada anak-anak yang kesulitan akses belajarnya karena semua serba online, atau bahkan mereka yang sudah dewasa namun dituntut untuk bekerja dari rumah. Lalu, minimnya kesempatan berobat ke dokter karena tak memiliki uang sampai ruang tinggal yang kecil sehingga tak memungkinkan karantina mandiri. Selain yang disebutkan, tentu banyak hal lain yang dialami kelompok masyarakat ini.

Pada akhirnya, COVID-19, dengan memperburuk dan mengungkapkan lebih lanjut tingkat ketidaksetaraan telah membuat urgensi untuk mengatasi ketidakadilan ini lebih serius dari sebelumnya. Kesenjangan sosial ini kemudian hanya dapat diputus ketika ada distribusi kekayaan yang adil ke kelompok yang paling membutuhkan. Keberpihakan pemerintah pada mereka yang terdampak harus ditunjukkan melalui kebijakan pro pekerja secepatnya.