*/?>

Memahami Politik Identitas

Pendidikan
Reporter : Bernetta, 11 Nov 2021
Sumber gambar : The conversation
Sumber gambar : The conversation

Salah satu bahasan tak terhindarkan ketika kamu masuk ke jurusan Ilmu Politik adalah soal Politik Identitas. Istilah ini, jika diperhatikan, biasanya paling banyak muncul di masa-masa pemilihan kepala daerah atau bahkan negara. Atribut-atribut dikenakan agar pemilih 'jatuh cinta' pada si calon dan ya, hal ini jadi hal biasa dalam dunia cari dukungan di Indonesia. Meskipun tahu garis besarnya, apa sih sebenarnya identitas politik itu? Mari pahami bersama di sini.

Definisi Politik Identitas

Istilah “politik identitas” pertama kali dicetuskan oleh feminis kulit hitam Barbara Smith dan Combahee River Collective pada tahun 1974. Politik identitas berawal dari kebutuhan untuk membentuk kembali gerakan-gerakan yang selama ini mengutamakan kesamaan yang monoton daripada nilai strategis perbedaan. Kalau didefinisikan dalam kalimat sederhana, politik identitas adalah ketika orang-orang dari ras, etnis, jenis kelamin, atau agama tertentu ini membentuk aliansi dan berorganisasi secara politik untuk membela kepentingan kelompok mereka. Gerakan feminis, gerakan hak-hak sipil, dan gerakan pembebasan LGBT adalah contoh dari pengorganisasian politik semacam ini.

Politik identitas diyakini sebagai “politik paling mendalam dan berpotensi paling radikal karena datang langsung dari identitas diri sendiri, sebagai lawan dari upaya untuk mengakhiri penindasan orang lain.” The Combahee River Collective merinci bagaimana pengalaman mereka sebagai perempuan kulit hitam, berbeda dari wanita kulit putih, dan ini penting karena memahami cara-cara di mana penindasan rasial, ekonomi, gender, dan lainnya terkait dan membentuk kehidupan mereka membantu memastikan bahwa tidak ada yang bisa tertinggal.

Politik Identitas di Indonesia

Politik Islam di Indonesia cenderung mengarah pada politik identitas. Sebenarnya, perkembangan politik Islam di Indonesia berfluktuasi sejak era Orde Baru hingga era reformasi saat ini. Politik Islam di Indonesia seringkali dijadikan sebagai alat politik belaka saat pemilu. Doktor bidang politik, FISIP UMM, Gonda Yumitro, MA, Ph.D memaparkan hasil penelitiannya dalam orasi ilmiah Kehakiman FISIP Periode II/2021, Rabu (23/6).

Menurut Gonda, Islam sebenarnya memiliki posisi yang sangat strategis karena memiliki sejarah panjang dalam perpolitikan Indonesia, dan umat Islam merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Namun, Islam sering digunakan sebagai alat politik. Ketika membutuhkan dukungan politik, para pemimpin sering menggunakan identitas Islam sebagai alat untuk mencari dukungan. 

Contoh lain misalnya, politik identitas juga memainkan peran utama dalam pemilihan gubernur Jakarta 2017, di mana beberapa anggota komunitas Muslim memobilisasi massa dalam jumlah besar melawan mantan Gubernur Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama. Topik ini terus menjadi topik pinggiran politik dan masyarakat Indonesia pada bulan-bulan setelah hasil pemilu, tetapi  menjadi topik utama setelah Gubernur Anies Baswedan yang baru dilantik menggunakan istilah "pribumi," atau penduduk asli, dalam pidato publik pertamanya sebagai pimpinan Jakarta. Menurut Usman Hamid, direktur eksekutif Amnesty International Indonesia, politik identitas di Indonesia telah digunakan sebagai alat untuk mengembalikan distribusi sumber daya.

Apakah Politik Identitas Baik?

Ilmuwan politik Universitas Stanford Francis Fukuyama menyebut politik identitas sebagai salah satu "ancaman utama" yang dihadapi demokrasi, mengalihkan energi dan berpikir jauh dari masalah yang lebih besar, seperti meningkatnya ketidaksetaraan ekonomi. "Bagaimana kita bisa bersatu dalam sesuatu yang besar, ketika kita terus membelah diri menjadi faksi-faksi yang lebih kecil? “Di jalan ini terletak, pada akhirnya, kehancuran dan kegagalan negara,” Fukuyama memperingatkan.

Jika logika politik identitas adalah untuk membagi kita menjadi potongan-potongan yang lebih kecil, urutan itu berakhir dan tak terhindarkan dengan identitas satu. Dan satu-satunya cara untuk melindungi dan menjunjung tinggi individu — setiap individu — adalah melalui hak dan prinsip yang luas, mencakup semua. Jadi, menurut Fukuyama, daripada menuju politik identiitas, kita harus bergerak menuju politik solidaritas. Tetapi agar solidaritas itu bertahan, ia harus bergulat dengan politik identitas. Politik identitas, dengan segala kekurangannya, tidak bertentangan dengan visi nasional yang menyeluruh: menjadikan kita satu.