*/?>

5 Buku Mahasiswa Ilmu Politik Wajib Baca Menurut Oxford!

Pendidikan
Reporter : Bernetta, 01 Dec 2021
Sumber gambar : University of Maine
Sumber gambar : University of Maine

Setiap tahun, lusinan buku tentang politik membanjiri pasar, tetapi hanya beberapa yang terpilih yang bertahan dalam ujian waktu. Nah, mulailah dengan buku-buku politik yag masih brtahan ini sekarang jika kamu berencana untuk mempelajari subjek seperti ilmu politik di universitas. Kamu harus dapat menunjukkan minat pada politik untuk menyusun aplikasi masuk kampus yang sukses. Apa saja buku yang direkomendasikan? Berikut 5 paling penting untuk dibaca menurut Oxford!

Plato, Republic (c. 375 SM)

Plato adalah seorang filsuf Athena, dan salah satu pemikir Barat pertama yang mengawinkan filsafat dan politik. Bukunya, Republic, membahas arti dan sifat keadilan, dengan alasan bahwa masyarakat yang 'adil' tergantung pada hubungan baik antara tiga kelompok yang berbeda: 'produsen' (pengrajin, petani), 'pembantu' (tentara) dan 'wali' (penguasa, politisi). Dia membahas masalah etika dan politik dengan mencoba menjawab pertanyaan: 'mengapa manusia berperilaku adil?' Dia percaya bahwa, untuk menjadi 'adil', seseorang itu juga harus 'baik'.

Niccolo Machiavelli, The Prince (1532)

Machiavelli adalah seorang politikus Italia yang tinggal di Florence. The Prince menandai terobosan penting dari tren sebelumnya dalam pemikiran politik Barat, karena didasarkan pada pengalaman masa lalu yang nyata, daripada prinsip-prinsip etika dan politik yang abstrak. Machiavelli ingin mengungkapkan sifat manusia dan struktur kekuasaan; untuk apa kekuasaan itu sebenarnya, dengan melihat hasil nyata dari tindakan masa lalu manusia. Dia secara kontroversial berpendapat bahwa pembunuhan dan pengkhianatan dapat diterima jika mereka mengarah pada pencapaian dan retensi kekuasaan. Sangat tidak populer di Gereja Katolik, buku itu didedikasikan untuk Lorenzo de Medici, penguasa Florentine, dengan tujuan membantunya memegang kekuasaan.

Thomas Hobbes, Leviathan (1651)

Hobbes adalah seorang filsuf dan royalis Inggris. Leviathan-nya ditulis dengan latar belakang perang saudara Inggris, dengan parlemen bertujuan untuk menggulingkan Charles I dan mendirikan sebuah republik. Hobbes berpendapat bahwa keadaan alami di mana manusia hidup adalah anarki, di mana yang terlemah didominasi oleh yang terkuat. Dia menyarankan bahwa 'kontrak sosial' antara rakyat dan kedaulatan mereka akan menghilangkan risiko dominasi total. Berdebat melawan hak ilahi raja, keyakinan lama bahwa raja dipilih oleh Tuhan, Hobbes malah mengusulkan bahwa bangsawan memegang kekuasaan hanya karena rakyat mereka mengizinkannya. Dia tidak mempermasalahkan kekuasaan absolut raja, melainkan menyarankan agar hal itu disetujui oleh rakyat.

John Locke, Second Treatise of Government (1689)

Locke menulis Second Treatise of Government sebagai tanggapan langsung terhadap situasi politik di Inggris saat itu. Dia mendefinisikan kekuatan politik secara moral; berargumen bahwa negara dapat dan harus membuat dan menegakkan hukum untuk kebaikan publik. Locke berpendapat bahwa meskipun semua orang sama dalam apa yang dia sebut 'keadaan alam', mereka harus menyerahkan beberapa kebebasan 'alami' saat memasuki masyarakat untuk dilindungi oleh hukum umum. Meski sangat berbeda dengan Hobbes, Locke juga berpendapat bahwa negara hanya memiliki kekuasaan atas rakyat sejauh mereka mau menerimanya. Lebih jauh, ia menulis bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, dan mereka dapat memilih untuk menggulingkan eksekutif negara jika itu tidak lagi berfungsi untuk kepentingan terbaik mereka.

Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract (1762)

Rousseau adalah seorang filsuf Prancis yang menulis dalam beberapa dekade menjelang Revolusi Prancis. Dalam The Social Contract, ia berpendapat bahwa hukum mengikat hanya jika didukung oleh kehendak umum rakyat, dan bahwa rakyat hanya boleh mendukung mereka yang menjamin kebebasan mereka. Dia kritis terhadap negara-negara kontemporernya, menulis bahwa mereka menindas kebebasan fisik dan sipil dari 'orang biasa'. Rousseau percaya bahwa otoritas politik yang sah hanya bisa ada jika lahir dari kontrak sosial yang telah disetujui oleh semua warga negara. Karyanya sangat inovatif karena berbicara tentang 'orang biasa' dan bukan elit. Kamu mungkin pernah mendengar tentang yang satu ini, karena kutipan 'Man is born free, but he which is which in chains' diambil dari The Social Contract.